SIMBOL-SIMBOL NONVERBAL KAUM SOSIALITA

(Studi Kasus Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi Nonverbal dalam Membangun Kesan Kemewahan pada Kaum Sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak di Kota Surakarta Tahun 2016)

Arintha Dyah Hapsari

Sri Hastjarjo

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

In conducting the study, the researchers raised the socialite's tribe because it is currently busy-crowded discussed. Conversations about the socialite mostly negative impression. With a variety of luxury attribute that is used has a distinct impression to be conveyed. The figure socialite with all the attributes that apply in their daily activities to create a symbol contained meaning.

The main theory used by the author is dramaturgy. Guided by the theory is divided into two stages, namely the back stage and front stage. In theory Dramaturgy by Goffman stated that the term Self presentation as well as impression management. In such a case have the same world as a stage, where the man set things done in interacting with people around. on the theory can be seen the impression of what you want shown, what motive behind the symbol to be used, and how the socialite especially Pelepas Santai Sejenak’s members in deliver the impression he has made.

In analyzing the authors use a case study approach. The sampling technique used purposive sampling with maximum variation sampling approach. This is done on the grounds that community of Pelepas Santai Sejenak’s members has more than 20 people. Sample taken consisted of six person, including three career women and three housewife. Data collection techniques used in the form of an interview to the socialite, direct observasions, and some documentation belonging to informant.

The conclusion reached by the authors that the socialite Pelepas Santai Sejenak largely administer the impression of a glamorous socialite who was impressed with the motive to be accepted by their group. The use of luxury goods are visible from the everyday appearance while playing a role in front of the other socialite elite or the other. Most of them use branded goods abroad at a fantastic price. Not just from appearance, but lifestyle also requires a deep budget.

Keywords : Dramaturgy, Nonverbal Symbols, The socialite.

Pendahuluan

Komunikasi nonverbal dapat menjelaskan bagaimana seseorang menyampaikan pesan dengan atribut-atribut yang digunakan dalam gaya hidup yang mereka kenakan. Melalui pakaian yang dikenakan, riasan, atau barang-barang yang melekat pada tubuh seseorang dapat mencerminkan bagaimana gaya hidup yang mereka lakukan sehari-hari. Terkadang banyak orang yang memang sengaja tampil secara berbeda untuk menunjukan eksistensinya kepada khalayak. Dalam penelitian ini pemilihan objek kaum sosialita dikarenakan mereka merupakan kaum golongan atas atau yang terlahir dari keluarga bangsawan yang memang terbiasa akan kehidupan yang mewah.

Makna sebenarnya sosialita adalah seseorang yang memang memiliki kekayaan berlebih dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan social. Kaum sosialita saat ini sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Sosok sosialita dengan segala atribut yang dikenakan dalam aktivitas sehari-harinya menciptakan sebuah symbol yang terkandung makna, dapat dipersepsikan oleh khalayak sekitar. Persepsi yang muncul di masyarakat cenderung kurang menyenangkan dilihat dari sisi status sosial. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2001: 51).

Di Indonesia fenomena kaum sosialita menjadi suatu bentuk citra negatif dan dapat pula berdampak buruk untuk pembangunan suatu Negara. Seperti yang dituliskan Ros (2014) pada media online detik news edisi kamis, 16 Januari 2014, bahwa kaum sosialita merupakan gaya hidup hodonisme yang dapat mempengaruhi ekonomi Negara. Didalamnya Abraham Samad menyatakan jika sudah bisa terhindar dari kehidupan pragmatisme dan hedonisme, pejabat itu tidak akan korup, tapi kalau terjebak pada pragmatisme dan hedonisme pastilah korup.Pernyataan sang ketua Lembaga Antirasuah itu selaras dengan sindiran mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Khofifah Indar Parawansa, akhir Desember lalu, Khofifah menyebut ada istri pejabat yang ikut arisan tas sampai Rp 25 juta per bulan.

Salah satu komunitas yang ada di kota Surakarta adalah komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS). Anggota dari komunitas tersebut adalah para ibu pejabat dan wanita karir yang terbilang sukses dan banyak orang yang mengenal sebagai kaum Sosialita di Kota Solo. Beberapa anggota dari komunitas Pelepas Santai Sejenak ini atau yang sering disingkat PSS adalah orang-orang eksis di Kota Solo. Media online Bisnis.com edisi Rabu 22 Februari 2016 (Saraswati, 2016) menyatakan bahwa untuk menjadi anggota PSS haruslah menggunakan barang-barang Branded dengan harga fantastis.

Kaum sosialita memiliki berbagai symbol-simbol nonverbal yang menarik untuk dibahas, seperti contoh ketika kaum sosialita sedang berkumpul dengan sesama, mereka memiliki ekspresi, gesture, sampai nada bicara yang berbeda-beda yang dari hal-hal tersebut terdapat makna didalamnya. Hal tersebut mereka lakukan untuk mengelola bagaimana peran dirinya sebagai kaum sosialita.

Dengan demikian, adanya simbol-simbol yang unik pada diri kaum sosialita tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dimana Komunitas Pelepas Santai Sejenak yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini tentang bagaimana simbol-simbol komunikasi tersebut digunakan oleh Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) demi membangun citra kemewahan. Topik yang ingin peneliti angkat “Simbol-simbol Komunikasi nonverbal dalam Membangun Citra Kemewahan Pada Kaum Sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) di Kota Surakarta”

Rumusan Masalah

Bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi nonverbal untuk membangun kesan kemewahan pada kaum sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) di Kota Surakarta tahun 2016?

Tujuan Penelitian

Untuk menggambarkan atau mendeskripsikan serta menganalisis bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi nonverbal dalam membangun kesan kemewahan pada kaum sosialita Komunitas Pelepas Santai Sejenak (PSS) di Kota Surakarta tahun 2016.

Kerangka Teori

1.  Fungsi Komunikasi Nonverbal

Riswandi (2009: 71) menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilau nonverbal memiliki fungsi sebagai berikut:

1.  Perilaku nonverbal dapat mengulangi repetisi perilaku verbal, dimana seseorang akan lebih mengerti ketika bahasa nonverbal digunakan dalam berkomunikasi. Seseorang secara tidak langsung menggunakan bahasa nonverbal sebagai bentuk pengulangan kata.

2.  Memperteguh, menekankan atau melengkapi sebuah kata dari bahasa verbal. Hal tersebut membuat orang lebih mengerti dan lebih jelas saat seseorang melakuan sebuah komuniasi.

3.  Perilaku nonverbal dapat menggantikan ataupun dapat mensubtitusi perilaku verbal yang tak jarang orang banyak melakukan hal tersebut. Perilaku nonverbal tersebut tentunya merupkan bentuk isyarat yang lazim orang gunakan.

4.  Perilaku nonverbal dapat mengatur perilaku verbal. Seperti yang sering terjadi pada saat perkuliahan dimana mahasiswa melihat jam yang mengartikan bahwa mahasiswa tersebut telah menginginkan perkulihan selesai, kemudian dosen mengerti dan menutup perkulihan.

Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan apa yang diucapkan, seperti halnya seorang suami yang sedang menonton telesivi diberikan pertanyaan oleh istrinya untuk memberikan komentar terhadap apa yang sedang dikenakan, tanpa melihat suami itu mengatakan “bagus! Bagus”.

Menurut Deddy Mulyna (2003) klafikasi pesan-pesan nonverbal terbagi atas 5 kategori, yaitu:

1.  Pesan kinesik. Merupakan sebuah pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang memiliki arti dan terdiri atas tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural.

2.  Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik. Pesan artifaktual inilah yang dijadikan pedoman dan digunkan dalam penelitian ini. Peneliti menganalisis kaum sosialita melalui penampilan tubuh, pakaian, dan kosmetik.

3.  Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain.

4.  Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan dengan cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda.

5.  Pesan sentuhan dan bau-bauan. Alat penerima sentuhan adalah kulit, yang mampu menerima dan membedakan emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Sentuhan dengan emosi tertentu dapat mengkomunikasikan kasih sayang, takut, marah, bercanda, dan tanpa perhatian. Bau-bauan, terutama yang menyenangkan (wewangian) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan.

2.  Dramaturgi Erving Goffman

Dedi Mulyana (2013: 110), Mead menganggap Diri pada dasarnya bersifat social. Dimana individu tidak dapat melakukan segala aktivitasnya secara individu. Social yang dimaksud adalah tidak dapatnya seseorang hidup tanpa membutuhkan orang lain, terlebih dalam hal berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini goffman mengemukakan bahwa individu tidak sekedar mengambil peran orang lain saja, melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapi citra diri. Secara garis besar mead dan goffman memiliki definisi yang sama mengenai konsep diri.

Dalam pendekatan dramaturgis, peran menentukan perilaku individu yang berinteraksi. Dimana seperti seseorang yang sedang memerankan dalam pentas drama dalam sebuah teater ataupun pertunjukan, actor tersebut memainkan sebuah karakter sehingga penonton dapat memperoleh sebuah gambaran kehidupan dan terlebih mampu mengikuti alur cerita dari drama yang disajikan.

Tujuan dari adanya presetasi – diri, seperti yang dijelaskan oleh goffman adalah memproduksi definisi situasi dan identitas social bagi para actor dan definisi situasi tersebut. Presentasi diri yang telah disampaikan akan diproses oleh oranglain sebagai suatu informasi yang dapat mendefinisikan situasi, apakah penyampaian pesan berupa kesan tersebut tersampaikan atau tidak, sesuai dengan yang diharapkan atau tidak.

Dalam penjelasan tersebut dapat diasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka menginginkan penyajian sebuah gambaran diri yang akan orang lain terima sesuai yang diharapkan. Seseorang akan melakukan presentasi- diri dengan sebai mungkin agar kesan yang diterima oranglain akan terlihat baik dan sempurna. Hal tersebut dapat diartikan sebagai upaya penyampaian pesan dengan pengelolaan kesan.

Konsep cermin diri Cooley (dalam Ritzer, 2007: 295) dapat dijabarkan kedalam tiga komponen. Pertama, membanyangkan seperti apa presentasi –diri di mata orang lain. Kedua, menerka dan memprediksi apa yang orang lain pikirkan berkenan dengan kesan yang telah dibuat. Ketiga, akbat dari apa yang dibayangkan mengenai penilaian orang lain terhadap diri, seperti perasaan diri tertentu tentang rasa harga diri atau rasa malu. Konsep cermin diri ini berkaitan dengan presentasi diri dari Goffman.

Pengelolaan kesan tersebut dapat diwujudkan dengan penggunaan atribut yang actor gunakan sebagai presentasi-diri yang inginkan. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi yang sedang dilakukan dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana seseorang menguasai interaksi tersebut.

Segala hal yang melakat pada tubuh manusia atau yang berada disekitar merupakan sebuah atribut yang dimiliki dan menjadi sebuat alat dalam menunjang perannya dalam mengelola kesan. Pakaian, segala aksesoris yang digunakan, tempat dimana tinggal, dan rumah yang dimiliki, cara berpenampilan, cara berbicara, cara berjalan, pekerjaan, sampai cara menghabiskan waktu luang merupakan sebuah atribut dimana kesan tersebut dibuat untuk disampaikan kepada orang lain yang diharapkan dapat sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Chelsea Amanda (2014: 4) menuliskan bahwa Goffman menyebutkan bahwa istilah Self presentation (presentssi diri) dengan impression management (manajeman kesan). Dalam hal tersebut memiliki dunia yang sama dengan panggung sandiwara, dimana manusia mengatur hal-hal yang dilakukan dalam berinteraksi dengan orang sekitar. Manajemen kesan digunakan sebagai kebutuhan seseorang dalam mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang diterima oleh orang lain. Sebagai seorang penampil, hal tersebut dilakukan bukan semata-mata untuk sebuah produk social, namun memiliki dasar motivasi tersendiri. Seseorang menata kesan yang dimiliki agar dapat diterima sebagai seseorang yang memiliki citra yang disukai oleh orang lain.

Ruth Segev (2013: 437) menyatakan bahwa pengelolaan kesan dapat mempengaruhi orang dari pandangan dan bagaimana mereka dirasakan, dihargai, dan diperlakukan oleh orang lain. Dapat teridentifikasi beberapa motif keterlibatan dalam manajemen kesan. Pertama, orang terlibat dalam manajemen kesan ketika ingin menentukan tempat mereka di lingkungan sosial yang mempengaruhi persepsi orang lain. Kedua, manajemen kesan dapat memfasilitasi pengembangan identitas yang diinginkan seperti ketika orang bertindak yang diharapkan dari peran kerja mereka atau dalam kerangka hubungan pribadi. Terakhir untuk perlindungan dari bahaya potensial.

Aktivitas yang mempengaruhi orang lain tersebut disebut sebagai “pertunjukan” (performance). Untuk memerankan peran social tersebut, seorang actor menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dalam penyampaian pesannya untuk menunjang artibutnya. Layaknya sebuh pementasan, kehidupan social pun dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region).

Dalam kehidupan social wilyah depan seperti sebuah pementasan dimana seseorang melakukan peran formalnya yang ingin disampaikan kepada khalayak pesan apa yang ingin disampaikan. Lakaykanya sebuah sandiwara, wilayah belakang adalah tempat dimana seseorang mempersiapkan perannya tersebut sebelum ditampilkan kepada oranglain. Apabila di panggung sandiwara, panggung depan adalah tempat dimana pemeran memainkan perannya sedangkan panggung belakang adalah tempat untuk berias, istirahat dan mempersiakan segala sesuatu sebelum seorag actor memaikan pertunjukannya.

Personal front mencakup keduanya, baik bahasa verbal dan nonverbal (bahasa tubuh). Berbicara sopan, ekspresi wajah, penampakan usia, cara berpakaian, ciri-ciri fisik dimana bahasa nonverbal tersebut dalam tingkatan tertentu dapat dikendalikan oleh actor. Namun ada beberapa yang sulit untuk disembunyikan seperti ras, jenis kulit, dan penampakan usia, akan tetapi mausia terkadang memanipulasikan dengan menggunakan cat rambut untuk menutupi uban, melakukann perawatan agar kulit kembali kencang, dan lain-lain.

Berbeda dengan panggung depan dimana seseorang dapat menyampaikan pesan tersebut dengan etika, tutur kata yang lembut, dan segala sesuatu yang akan menimbulkan kesan yang baik di depan khalayak. Panggung belakang merupakan tempat atau situasi dimana seseorang terlepas dari peranya tersebut dan menjadi diri sendiri sesuai dengan karakter yang dimiliki setiap individu masing-masing tanpa ada khalayak luar yangmengetahui. Sehingga seseorang tidak akan pernah membolehkan seseorang untuk masuk kedalam sehingga tidak ada persepsi lain selain kesan yang telah dibuat dalam panggug depan.

Panggung depan seperti terlembagakan atau terorganisir secara structural. Terkadang peran tersebut merupakan telah ditetapkan dalam artian bahwa panggung depan dipilih alih-alih diciptakan. Meskipun panggung depan telah terstruktur namun daya tarik pendekatan goffman terletak pada interaksi. Umumnya orang-orang berusaha menyajikan presentasi- diri sesuai dengan apa yang telah diidealisasikan dalam panggung depan dan menyembunyikan apa yang dapat membuat kesan tersebut menajadi tidak sesuai.

Metodelogi Penelitian

1.  Jenis Penelitian

Gunawan (2015: 112) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian kulaitatif dimana dalam penelitian studi kasus memusatkan diri pada satu objek tertentu secara intensif yang dipelajari sebagai suatu kasus. Peneliti dalam penelitian ini menggunakan studi kasus dimaksudkan untuk mempelajari tentang latar belakang masalah, keadaan, dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsug saat ini dan bersifat apa adanya (given). Pada hakikatnya studi kasus bertujuan untuk menggali fenomena (kasus) dari suatu masa tertentu dan aktivitas serta mengumpulkan detail informasi dengan menggunakan berbagai prosedur selama kasus tersebut terjadi. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa program, kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial).