RINGKASAN HASIL STUDI/KAJIAN

“PENYUSUNAN INDIKATOR DEMOKRASI“

Oleh:

Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi BAPPENAS

Abstrak

The dynamicof democracy in Indonesia which is relatively left behind compared to other aspects and analysis on democracy from various perspectives which is often ended on an abstract and general description and explanation may surely bring unclear picture to the public regarding the level of democratization in the history of Indonesia.

Most studies exploring democracy in Indonesia, both in New Order and Post-New Order period did not attempt to assess level of democracy as conducted by institutions like Freedom House that has been instigating annual review since 1973.Moreover, analysis on political life in Indonesia is often quite qualitative and based upon secondary data, or even primary one. Various dimension of democracy such as competition, participation, and accountability) in certain period of time have not been well apprehended.

Therefore, it is necessary to compose indicator on Accountability of Democracy which is also related to Indicator of Freedom House so that we can obtain the intact picture of democracy.

This preliminary study is aimed to compose indicator of democracy, specifically on the accountability of legislature toward its constituents by analyzing influential factors of accountability and then to propose policy recommendation to the improvement of democracy accountability.

From the analysis supported by survey and interview with in-house expert, the conclusions are among others : accountability of legislature toward their constituents are relatively low depicted by their performance such as visit and also reporting. If this is related to the indicator of Freedom House, hence, level of accountability is nonethelessabove score “ 4” (Semi-Authoritarian) or can be seenas “ Elitist” and “ Oligarchic.”

This situation is related to (1) indistinct and irresolute assignment as stipulated by rule and regulation to the legislature to communicate with their constituents, and to perform the function of representative; (2) limited support of funds; (3) lack of public pressure (from press, university, and mass organization) toward legislature and also toward political party in order to be more responsive and aspiratory to their constituents; (4) Contact and communications between legislature and their constituent do not represent the upmostpart in the political history of Indonesia; ( 5) Election system by choosing photo of the candidates which brings an abstract representation whereas the figure is not really cradled.

Paying attention to the conclusion and its supporting factors, hence, the recommendations are: to stipulate clearly in the rule and regulation. the obligation of legislature to communicate and make report regarding activities and visit to their constituents and also regulation guaranting constituents rights to impeach their representatives when they did not perform and even more made misstep; need more public space and optimal independent community organization including General Election Commission (KPU) to oversee legislature as a form of moral responsibility and their own intellectuality; the change of election system represent the most important substance to be conducted, so that people can be more realistic in voting their representatives by emphasizing at figure or person (notphotograph); despitefully adjustment of budget requirement also need attention to support the communication activitieswith their constituents with a clear responsibility and plan.

Latar Belakang

Pembahasan dan pengukuran dinamika demokrasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan bidang lain, seperti dinamika ekonomi dan kependudukan. Berbagai analisis demokrasi dari berbagai perspektif seringkali hanya berhenti pada deskripsi dan eksplanasi demokrasi secara umum dan agak abstrak. Karena itu, publik tidak mengetahui dengan jelas bagaimana keadaan tingkat demokrasi dalam sejarah Indonesia. Demikian pula tidak diketahui bagaimana keadaan berbagai dimensi demokrasi (kompetisi, partisipasi dan akuntabilitas) dalam suatu periode tertentu.

Permasalahan

Mayoritas studi yang membahas demokrasi Indonesia baik pada periode Orde Baru maupun pasca Orde Baru, cenderung tidak berupaya untuk menilai tingkat demokrasi sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa lembaga, misalnya Freedom House yang melakukan analisis tahunan sejak tahun 1973. Selain itu analisis tentang politik Indonesia seringkali bersifat kualitatif dari data primer maupun sekunder yang mereka kumpulkan. Sudah tentu analisa mereka sangat berguna untuk memahami kehidupan politik di Indonesia. Namun, kita tidak tahu tingkat demokrasi dari sistem politik Indonesia karena tidak ada indikator-indikator untuk mengetahui secara lebih akurat tentang politik di Indonesia. Selain itu seringkalisuatu studi hanya membahas aspek deskriptif atau eksplanatif tanpa rekomendasi kebijakan yang cukup rinci. Dilain pihak berbagai rancangan perundang-undangan seringkali tidak disertai dengan analisis dimensi demokrasi (akuntabilitas) yang rinci sehingga masalah tersebut tidak mendapat tempat yang cukup dalam usulan rancangan perundang-undangan.

Selama ini, studi pengukuran demokrasi lebih terfokus pada dua aspek yakni kompetisi dan partisipasi, sebaliknya mereka kurang membahas masalah akuntabilitas. Dengan kata lain, pengukuran demokrasi masih terfokus pada kebebasan berparpol dan pemilu namun seringkali kurang memperhatikan atau mengukur proses pasca pemilu terutama akuntabilitas para wakil rakyat. Untuk itu, perlu dibuat Indikator Akuntabilitas Demokrasi yang dapat pula dikaitkan dengan Indikator “Freedom House” sehingga kita dapat memperoleh gambaran keadaan demokrasi yang lebih utuh.

Pembahasan demokrasi Indonesia yang bersifat kualitatif dan deskriptif berimplikasi pada pengukuran demokrasi di Indonesia yang cenderung lebih bersifat kualitatif, di mana posisi Indonesia seringkali dinyatakan sebagai “otoritarian,” “represif,” atau “birokratis-militeristik.” Selama ini tidak terdapat Indikator demokrasi yang sistematik yang telah dikembangkan oleh pemerintah (BPS dan BP7, ketika masih ada). Keadaan serupa terjadi pula pada berbagai lembaga penelitian dan universitas.

Tujuan

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas maka kajian ini dilaksanakan dengan tujuan :

1)Menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat (Anggota DPR dan DPRD?) pada pemilih (konstituen). Tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya merupakan hal yang penting dan dapat menjadi “entry point” bagi pengembangan demokrasi yang sesungguhnya.

2)Menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas demokrasi; dan

3)Mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas demokrasi.

Ruang Lingkup

Mendefinisikan kriteria demokrasi dan menentukan indikator-indikator empirik perihal ‘degree of democratization’ yang terjadi di Indonesia. Diharapkan dari kajian tersebut dapat diperoleh keluaran :

1)Ukuran-ukuran baku demokrasi (best international principles on democracy)

2)Ukuran-ukuran empiric menurut area politik Indonesia

3)Menentukan ‘degree of democratization’ Indonesia

Kerangka Teoritis

Pembahasan indikator demokrasi telah dikembangkan oleh Freedom House (FH) yang mencakup dua dimensi yakni “Political Rights” dan “Civil Liberty” yang lebih menekankan aspek Partisipasi dan Kompetisi akan menunjukkan masih terbukanya dimensi akuntabilitas untuk diukur. Indikator demokrasi versi “Freedom House” didasarkan pada dimensi “Political Rights” yang meliputi 11 indikator yang berkaitan dengan “partisipasi” dan “kompetisi”, dan “civil liberty” yang erat dengan partisipasi dalam kehidupan sosial yang diukur dengan 14 butir. Dengan 25 butir di atas, “Freedom House” meminta pendapat para ahli suatu negara tertentu (“panel of experts”) untuk membuat “rating” mengenai hal tersebut. Gabungan dari kedua dimensi tersebut (“political rights dan civil liberty”) selanjutnya digunakan untuk mengetahui posisi atau ciri-ciri suatu negara dalam bidang demokrasi, dengan memberikan skor/nilai antara 1 sampai 7. Nilai antara 1 sampai 7 tersebut dibagi menjadi tiga kategori yakni “Free” (1-2.5), “Partly Free” (2.5 - 5.5), dan “Not Free” (5.5 - 7). Pembuat indikator “Freedom House” yakni Gastil berkesimpulan bahwa indikatornya ternyata juga mengukur tingkat “demokrasi,” bukan hanya tingkat kebebasan (“Freedom”).

Pembobotan seperti di atas masih terlalu “kasar”, artinya perubahan dalam bidang “Partly Free” (2.5 - 5.5) kurang dapat dijelaskan secara baik. Dengan kata lain suatu negara yang berada dekat “Not Free” (5.5-7) dan berubah mendekati “Free” masih dianggap berada dalam satu bidang yakni “Partly Free” (2.5-5.5). Berdasarkan hal ini perlu modifikasi ketiga bidang sehingga mereka dipecah menjadi empat di mana bidang “Partly Free” dibagi dua menjadi “Semi-Demokratis” (2.5 - 4) dan “Semi Otoriter” (4 - 5.5).

Metodologi

Metode dan subyek kajian terdiri atas:

1)Studi kepustakaan terhadap berbagai analisis, indikator-indikator, dan dinamika demokrasi di Indonesia.

2)Studi kepustakaan tentang kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia (UUD dan UU Politik).

3)Studi kepustakaan terhadap anggaran pemerintah/pemerintah daerah maupun DPR/DPRD; dan

4)Wawancara mendalam dengan berbagai narasumber/pakar dan survey sederhana (mahasiswa).

Hasil Pengumpulan Data

Apabila menggunakan indikator “Freedom House” yang telah dimodifikasi untuk mengetahui dinamika demokrasi Indonesia, maka pada periode Orde Baru tingkat demokrasi secara mayoritas berada di “Semi-Otoriter” (4 – 5,5) walaupun pernah juga mengalami “Otoriter” (5.5 - 7) pada periode 1993-1998. Sedangkan pada pasca Orde Baru, sejak 1999 dan 2003, membaik cukup tajam memasuki kategori baru yakni “Semi-Demokrasi” (dibawah skor “4”).

Grafik berikut ini menggambarkan dengan lebih jelas dinamika demokrasi di Indonesia karena membagi bidang “Partly Free” menjadi dua yakni “Semi-Otoriter” dan “Semi-Demokrasi.” Dengan pembagian ini terlihat dinamika demokrasi Indonesia menjadi lebih tajam. Pada periode Orde Baru, tingkat demokrasi secara mayoritas berada di “Semi-Otoriter” walaupun pernah juga mengalami “Otoriter” pada periode 1993-98. Jadi dilihat dari aspek “Political Rights” dan “Civil Liberty” Indonesia pada pasca Orde Baru telah memasuki kategori baru yakni “Semi-Demokrasi.”

Grafik :

Modifikasi Gabungan “Political Rights” dan “Civil Liberties” di Indonesia

Sumber: Freedom House, 2004

Berikut ini grafik yang menunjukkan demokrasi Indonesia yang mengalami perbaikan mendekati tingkat Thailand dan Filipina. Keadaan ini lebih baik dibanding Malaysia dan Singapura yang sebelum reformasi 1998 dan pemilu 1999 berada dalam kategori yang sama dengan Indonesia.

Grafik : Perbandingan Demokrasi di Indonesia dengan

Demokrasi di Malaysia, Philipina dan Singapore tahun 1972-2001

Sumber: Freedom House

Namun grafik diatas hanya menjelaskan “Political Right” dan “Civil Liberty” tanpa mengukur akuntabilitas. Terdapat kemungkinan bahwa Malaysia dan Siangapura yang mendapat nilai rendah dalam Indikator Freedom House mempunyai skor cukup baik dalam akuntabilitas anggota legislatif (parlemen) karena dilakukannya sistem distrik. Para anggota parlemen harus responsif pada konstituensinya karena jika tidak mereka tidak dapat terpilih dalam pemilu beriikutnya.

Indikator Akuntabilitas Demokrasi (IAD) dibuat berdasarkan prinsip yang mirip dengan Indikator Freedom House (IFH). IAD akan mencakup dimensi demokrasi yang belum terbahas dalam IFH yakni dimensi akuntabilitas. Namun IAD dapat berfungsi juga sebagai pelengkap atau bahkan digabungkan dengan IFH sehingga kita akan mendapat indikator demokrasi yang agak lengkap. Dengan begitu, dapat diketahui posisi demokrasi suatu negara dalam tahun tertentu baik dalam aspek partisipasi maupun akuntabilitas.

Untuk mengukur Indikator Akuntabilitas Demokrasi (IAD) maka dikonstruksi kategori sebagai berikut:

  1. Akuntabilitas dapat dikategorikan “Tinggi,” jika: Mayoritas anggota DPR (> 67%) melakukan kunjungan rutin ke konstituensinya dan jika mayoritas (> 67%) membuat laporan pertanggungjawaban pada konstituennya. Skor “Sedang” adalah nilai 33% sampai 67% dan skor “Rendah” jika nilai kurang dari 33%.
  1. Selain itu dilakukan pula survey dengan pengukuran dengan “rating” dari angka 1 (akuntabilitas tinggi) sampai 7 (akuntabilitas rendah). Skor 1 sampai 7 tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yakni :

1 - 2 : Akuntabilitas Tinggi (Akuntabel)

2 - 4 : Akuntabilitas Cukup (Semi-Akuntabel)

4 - 5,5 : Akuntabilitas Rendah

5,5 - 7: Akuntabilitas Rendah Sekali (Non-Akuntabel)

  1. Analisis Akuntabilitas mencakup pula analisis kualitatif oleh pakar sehingga dapat diketahui apakah tingkat akuntabilitas dapat digolongkan sebagai rendah, sedang atau tinggi.

Analisis Data

Instrumen untuk mengukur Akuntabilitas ini pertama kali akan diterapkan untuk mengetahui apakah para wakil rakyat secara rutin mengunjungi konstituennya atau tidak.

Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa kunjungan anggota DPR/D menurut responden adalah sangat rendah. Data diatas menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas wakil rakyat “Sangat Rendah” dan dapat dikatakan bahwa mereka tidak akuntabel pada konstituen mereka.

Tabel 1 - Kunjungan ke Konstituen

Pernah dihubungi DPR/D / 2001 / 2002 / 2003

Dihubungi

/ 7% / 4% / 2%
Tidak Dihubungi / 85% / 87% / 95%
Tidak Tahu / 8% / 8% / 2%
Tidak Menjawab / 1% / 1% / 1%

Sumber: Media Indonesia 6 Februari 2004; IFES 2001, 2002, 2003

Selain itu terdapat informasi tambahan mengenai kinerja mereka menurut berbagai polling. Sebagai contoh data dalam tabel 2 menunjukkan statistik demokrasi mengenai pandangan publik terhadap anggota DPR/D :

Tabel 2 - Pandangan terhadap anggota DPR/D

PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPR / PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD I / PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD II
Sudah mewakili / 22% / Sudah mewakili / 25% / Sudah mewakili / 34%
Kurang mewakili / 35% /

Kurang mewakili

/ 31% / Kurang mewakili / 28%
Tidak mewakili / 15% / Tidak mewakili / 12% / Tidak mewakili / 11%
Tidak tahu / 26% / Tidak tahu / 29% / Tidak tahu / 25%
Tidak menjawab / 3% / Tidak menjawab / 2% / Tidak menjawab / 2%

Sumber: 'Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat...' hal. L-8 (Pertanyaan: 'Menurut penilaian Bapak/Ibu/Saudara, apakah DPR/DPRD I/DPRD II sudah mewakili, kurang rnewakili atau tidak rnewakili kepentingan masyarakat di daerah ini?” Survey dilakukan pada Juli 2000 pada 3000 responden di 60 kabupaten/kotamadya di 20 propinsi. Informasi lainnya tentang responden adalah: usia 18 tahun keatas atau sudah menikah. Sampling error polling adalah ± 2% dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk lengkapnya lihat Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat….(2000: L-1 dan L-2).

Survey diatas dilakukan pada tahun 2000 dan mengevaluasi anggota DPR/D hasil pemilu 1999 yang dianggap “jurdil” baik oleh kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Keadaan ini menunjukkan bahwa suksesnya suatu pemilu (“Electoral Democracy”) tidak menjamin tingginya rasa keterwakilan rakyat. Hal diatas disebabkan tidak diberlakukannya sistem pemilu yang memberi kesempatan pada publik untuk memilih wakilnya (sistem proporsional terbuka dan sistem distrik). Selain itu hal tersebut terjadi karena tidak adanya mekanisme kontrol pasca pemilu sehingga wakil rakyat tidak merasa perlu untuk akuntabel bahkan memperkenalkan dirinya (mengunjungi) rakyat di daerah pemilihannya. Tabel juga menunjukkan bahwa secara umum pandangan reponden tentang anggota DPR tidak jauh berbeda dengan pandangan mereka terhadap DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Secara jelas terlihat bahwa hanya 22% responden yang menganggap bahwa anggota DPR telah mewakili mereka. Selebihnya menyatakan “Kurang Mewakili” (35%); “Tidak Mewakili” (15%); “Tidak Tahu” (26%).

Pengukuran Akuntabilitas dapat dilakukan dengan menganalisis perundang-undangan maupun polling. Selain itu dapat pula ditanyakan pada informan dimana mereka diminta melakukan “rating” terhadap beberapa butir yang berkaitan dengan akuntabilitas.

Dalam grafik berikut terlihat bagaimana akuntabilitas DPR/D pada pemilih (konstituen): (para informan (mahasiswa) hanya diminta untuk melakukan “rating” pada masa pasca Reformasi karena mereka tidak mengalami masa pra-reformasi dengan baik).

Grafik :

Akuntabilitas menurut “Political Rights” FH dan

Pendapat Responden (Pasca Reformasi)

Data diatas menunjukkan bahwa “rating” responden adalah 5 atau berada di antara angka 4 dan 5.5 atau kategori “Kurang Akuntabel.” Sementara grafik yang lengkap berasal dari Freedom House yang mengukur “Political Rights.” Pada masa pasca Reformasi skor “Political Rights” cukup baik yakni 3 atau “Semi-Demokratis.” Data juga menunjukkan bahwa “Akuntabilitas” Pasca Reformasi berada dalam kategori yang lebih buruk dibandingkan dengan keadaan “Political Rights.”

Berbagai data yang ada tersebut jika dikategorikan dapat menunjukkan lemahnya tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya. Jika keadaan ini dikonversi ke peta akuntabilitas dalam kategori akuntabilitas yang “Sangat Rendah” atau “tidak Ada Akuntabilitas.” Kategori ini mempunyaiu skor antara 5.5. sampai 7 dan jika diambil nilai tengahnya maka akan didapat nilai 6.3, seperti yang terlihat dalam grafik berikut:

Grafik :

Akuntabilitas DPR/D terhadap Konstituen

Grafik diatas menggambarkan betapa rendahnya tingkat Akuntabilitas wakil rakyat pada konstituen yang tidak berbeda signifikan baik pada masa sebelum dan sesudah reformasi.

Secara ringkas studi ini memperlihatkan gambaran akuntabilitas demokrasi Indonesia bahwa anggota DPR yang melakukan kunjungan ke konstituennya masih dibawah 10% namun data ini tidak secara jelas menyatakan apakah kunjungan tersebut bersifat rutin atau tidak. Demikian pula tidak tercatat adanya anggota DPR yang melaporkan kegiatan mereka secara tertulis pada konstituennya baik pada akhir tahun atau akhir masa jabatan mereka. Berdasarkan data ini dapat dikategorikan bahwa akuntabilitas mereka adalah “Sangat Rendah.”

Berdasarkan analisis para pakar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas DPR pada konstituennya masih dapat dikategorikan “rendah.”, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa akuntabilitas DPR pasca reformasi tidak berbeda secara signifikan dengan masa sebelum reformasi. Selain itu berdasarkan “rating” survey ditemukan bahwa akuntabilitas DPR masih diatas skor 4 berarti termasuk kategori “Akuntabilitas Rendah.” Padahal rating “Fredom House” (Partisipasi dan Kompetisi) sudah bernilai dibawah 4 atau masuk kategori “Semi-Demokratis.” Demikian pula berbagai polling masih menunjukkan kinerja dan citra DPR yang kurang baik. Jadi peningkatan demokrasi dalam aspek “Partisipasi” dan “Kompetisi” tidak diikuti secara seimbang dengan aspek “Akuntabilitas.”

Kesimpulan

Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya adalah “Rendah” dilihat dari kinerja mereka seperti kunjungan maupun pelaporan. Selain itu juga didukung oleh data lain yakni survey dan pakar yang menyatakan bahwa akuntabilitas mereka adalah rendah. Jika dikaitkan dengan indikator “Freedom House” maka posisi Akuntabilitas masih diatas skor “4”(“Semi-Otoriter”) atau dapat dikatakan masih bersifat “Elitis” dan “Oligarkis.”